
Barak Militer untuk Siswa Nakal: Solusi atau Masalah Baru?
Pemerintah tengah mempertimbangkan kebijakan baru yang cukup kontroversial: menempatkan siswa yang dianggap “nakal” atau bermasalah ke dalam barak militer sebagai bagian dari pembinaan karakter. Langkah ini menuai pro dan kontra di tengah masyarakat, terutama dari kalangan pendidik, psikolog, dan orang tua.
Gagasan ini muncul dari kekhawatiran meningkatnya kasus kenakalan remaja, perundungan di sekolah, serta kurangnya disiplin di lingkungan pendidikan. Para pendukung kebijakan ini percaya bahwa pendekatan berbasis kedisiplinan ala militer bisa menjadi solusi untuk membentuk karakter siswa agar lebih tangguh, disiplin, dan bertanggung jawab.
Namun, di sisi lain, banyak pihak mempertanyakan efektivitas dan dampak jangka panjang dari metode ini. Psikolog anak menyebutkan bahwa pendekatan militeristik bisa menimbulkan trauma emosional, terutama bila dilakukan tanpa pendekatan psikologis yang tepat. Anak-anak yang seharusnya dibina dengan pendekatan edukatif dan empatik justru bisa merasa terisolasi dan semakin memberontak.
Beberapa pengamat pendidikan juga menekankan bahwa penyebab kenakalan remaja sering kali berasal dari faktor lingkungan keluarga, tekanan sosial, dan minimnya dukungan psikologis di sekolah. Dengan demikian, solusi seharusnya difokuskan pada sistem pendidikan yang inklusif, pelatihan guru, dan konseling siswa yang berkelanjutan, bukan hukuman berbasis militer.
Pemerintah sendiri belum merinci bagaimana implementasi kebijakan ini akan dilakukan, termasuk kriteria siswa yang akan dikirim ke barak, durasi pembinaan, dan pengawasan psikologisnya. Publik kini menantikan penjelasan lebih lanjut serta pelibatan para ahli dan masyarakat dalam perumusan kebijakan ini.
Langkah ini bisa jadi solusi, namun juga berisiko menjadi masalah baru jika tidak dirancang secara matang. Pendidikan seharusnya membentuk karakter, bukan sekadar mendisiplinkan secara keras.