
Di Provinsi Aceh, satu-satunya wilayah di Indonesia yang menerapkan hukum pidana berdasarkan Syariat Islam, hukuman cambuk menjadi salah satu bentuk sanksi yang masih dijalankan hingga kini. Pada awal Agustus 2025, Pengadilan Syariah Aceh kembali menjadi sorotan setelah menjatuhkan hukuman cambuk sebanyak 80 kali kepada dua pria muda yang tertangkap melakukan tindakan yang dianggap melanggar aturan syariat. Peristiwa ini memicu kembali perdebatan publik tentang penerapan hukum syariah, hak asasi manusia, dan citra Aceh di mata nasional maupun internasional.
Kronologi Kasus
Menurut laporan resmi dari pihak berwenang, kedua pria berusia 20 dan 21 tahun tersebut ditangkap pada April 2025. Mereka kedapatan berada di dalam sebuah toilet umum di salah satu kawasan di Banda Aceh, dan menurut aparat, melakukan tindakan yang melanggar pasal terkait hubungan sesama jenis dalam Qanun Jinayat—aturan hukum pidana syariah di Aceh.
Setelah menjalani proses penyelidikan, kasus ini dibawa ke Pengadilan Syariah. Dalam persidangan, majelis hakim memutuskan bahwa bukti dan saksi sudah cukup kuat untuk menjatuhkan vonis. Hukuman yang dijatuhkan adalah 80 kali cambuk, yang dijalankan secara terbuka di hadapan publik, sesuai prosedur pelaksanaan hukuman di Aceh.
Pelaksanaan Hukuman di Depan Publik
Hukuman cambuk di Aceh umumnya dilaksanakan di lapangan terbuka atau halaman masjid, disaksikan masyarakat dan pejabat setempat. Algojo menggunakan rotan tipis, dan prosesnya diatur agar tidak menyebabkan kematian atau luka permanen, meski tetap menimbulkan rasa sakit fisik dan psikologis yang mendalam.
Pelaksanaan hukuman kali ini dilakukan dengan pengamanan ketat. Kedua terpidana mengenakan pakaian khusus berwarna cokelat tua, wajah mereka sebagian ditutupi. Tim medis juga disiapkan untuk memeriksa kondisi kesehatan sebelum dan sesudah pelaksanaan cambuk. Meskipun aturan menyatakan cambuk dilakukan dengan kekuatan sedang, banyak pihak menilai dampak traumatisnya tidak bisa diabaikan.
Landasan Hukum di Aceh
Aceh memiliki status istimewa berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang memberi kewenangan untuk menerapkan hukum syariah dalam aspek tertentu, termasuk hukum pidana. Qanun Jinayat yang berlaku di Aceh mengatur sanksi untuk perbuatan yang dianggap melanggar norma Islam, termasuk hubungan seksual di luar nikah dan hubungan sesama jenis.
Dalam kasus ini, kedua pria dinilai melanggar pasal yang melarang hubungan seksual sesama jenis (liwath). Qanun tersebut memberikan opsi hukuman cambuk hingga 100 kali, sehingga vonis 80 kali dianggap berada di bawah batas maksimum.
Reaksi Publik dan Aktivis HAM
Penerapan hukuman cambuk ini menuai pro dan kontra. Sebagian warga Aceh mendukung hukuman tersebut, dengan alasan menjaga moral masyarakat dan menjalankan hukum Islam yang sudah menjadi bagian dari identitas daerah. Mereka menilai, hukum syariah adalah bentuk kedaulatan daerah yang harus dihormati.
Namun, aktivis hak asasi manusia, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, mengkritik keras praktik ini. Amnesty International dan Human Rights Watch, misalnya, menilai hukuman cambuk melanggar prinsip-prinsip HAM, termasuk larangan penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi. Mereka juga mengkhawatirkan stigma sosial dan tekanan psikologis yang dialami oleh para terpidana.
Pandangan Pemerintah Pusat
Pemerintah pusat secara resmi mengakui status khusus Aceh dan tidak ikut campur secara langsung dalam penerapan hukumnya, selama tidak bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Meski demikian, beberapa kali pejabat pemerintah pusat memberikan pernyataan bahwa pelaksanaan hukuman fisik sebaiknya dipertimbangkan ulang, demi menjaga citra Indonesia di mata dunia.
Pada kasus kali ini, Kementerian Hukum dan HAM belum mengeluarkan komentar resmi, namun isu ini kembali memicu diskusi di tingkat nasional tentang batas kewenangan daerah dalam menerapkan hukum yang berbeda dari provinsi lain.
Sejarah Penerapan Hukuman Cambuk di Aceh
Hukuman cambuk mulai diterapkan di Aceh pada 2005, beberapa tahun setelah diberlakukannya status otonomi khusus. Awalnya, hukuman ini dijatuhkan untuk pelanggaran ringan seperti judi dan minum alkohol. Namun, seiring berjalannya waktu, cakupan pelanggaran meluas, termasuk hubungan di luar nikah dan hubungan sesama jenis.
Sejak 2015, kasus-kasus yang melibatkan hubungan sesama jenis mulai menjadi perhatian media internasional. Hukuman cambuk terhadap pasangan gay pada tahun-tahun sebelumnya telah memicu kecaman dari PBB dan lembaga-lembaga internasional lainnya. Meski begitu, pemerintah daerah Aceh tetap konsisten menerapkan hukum ini.
Perspektif Sosial dan Budaya
Bagi sebagian masyarakat Aceh, hukum syariah adalah bagian integral dari identitas kultural dan religius. Penerapan hukuman cambuk dianggap sebagai sarana untuk mencegah perbuatan yang dilarang agama dan menjaga kehormatan komunitas.
Namun, di sisi lain, ada warga yang merasa tidak nyaman dengan pelaksanaan hukum ini di depan publik, karena dianggap memalukan dan tidak memberikan kesempatan rehabilitasi bagi pelanggar. Beberapa akademisi juga berpendapat bahwa hukuman fisik tidak efektif untuk jangka panjang, dan lebih baik diganti dengan pendekatan pendidikan atau konseling.
Analisis: Antara Hukum Lokal dan HAM Universal
Kasus ini memperlihatkan benturan antara dua prinsip: hak daerah untuk mengatur hukumnya sendiri berdasarkan nilai-nilai lokal, dan prinsip hak asasi manusia yang berlaku secara universal. Aceh berada di posisi unik, di mana aturan lokalnya diakui secara hukum nasional, tetapi seringkali bertabrakan dengan standar internasional.
Pertanyaannya, bagaimana menemukan titik temu antara pelestarian nilai lokal dengan penghormatan terhadap HAM? Beberapa pihak mengusulkan reformasi Qanun Jinayat agar hukuman fisik diganti dengan bentuk sanksi lain, misalnya denda, kerja sosial, atau rehabilitasi.
Dampak pada Citra Aceh dan Indonesia
Tidak dapat dipungkiri, berita tentang hukuman cambuk di Aceh sering menjadi sorotan media internasional. Citra Aceh sebagai daerah wisata halal dan tujuan investasi bisa terdampak, terutama di kalangan pihak yang sensitif terhadap isu HAM. Indonesia sebagai negara demokratis juga harus menghadapi pertanyaan dari komunitas global mengenai konsistensi penerapan nilai-nilai kebebasan dan perlakuan yang manusiawi.
Kesimpulan
Hukuman cambuk 80 kali terhadap dua pria di Aceh kembali memunculkan perdebatan lama yang belum menemukan jawaban pasti. Di satu sisi, hukum syariah adalah hasil pilihan politik dan sosial masyarakat Aceh yang dijamin undang-undang. Di sisi lain, ada tuntutan global untuk menghapus hukuman yang dianggap tidak manusiawi.
Selama kedua pandangan ini belum menemukan titik temu, peristiwa serupa kemungkinan akan terus terjadi di masa mendatang. Tantangan terbesar adalah mencari bentuk hukum yang tetap sejalan dengan nilai-nilai agama dan budaya, namun juga menghormati martabat manusia sebagaimana diatur dalam prinsip-prinsip hak asasi.