
Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, sebuah fenomena tak biasa muncul di berbagai daerah: pengibaran bendera bajak laut ala One Piece, anime populer asal Jepang. Simbol tengkorak yang biasa dikenal sebagai “Jolly Roger” itu tampak dikibarkan di lingkungan perumahan, kampus, hingga kawasan publik.
Fenomena ini menuai kontra dan pro dari berbagai pihak. Ada yang menganggapnya sebagai bentuk ekspresi budaya populer, namun tak sedikit yang melihatnya sebagai tindakan yang tak menghormati semangat kemerdekaan dan simbol negara.
Ekspresi Generasi Muda
Sebagian kalangan muda menganggap bahwa bendera bajak laut dalam anime One Piece bukan sekadar lambang kejahatan, melainkan simbol dari kebebasan, solidaritas, dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Mereka memaknainya sebagai bentuk kritik sosial terhadap kondisi bangsa—diekspresikan secara damai melalui simbol yang familiar di kalangan generasi digital.
Dalam konteks ini, pengibaran bendera One Piece dipahami sebagai sarana menyampaikan pesan tanpa kekerasan, bukan upaya merusak perayaan nasional.
Pandangan Hukum dan Pemerintah
Meski sebagian masyarakat melihatnya sebagai bentuk kreativitas, sejumlah pihak mempertanyakan legalitas tindakan tersebut. Sebab, penggunaan simbol non-resmi di momen kenegaraan seperti HUT RI bisa dianggap melanggar etika atau bahkan peraturan tentang simbol negara.
Beberapa tokoh menyuarakan pentingnya penertiban, dengan alasan bahwa bendera Merah Putih sebagai simbol persatuan tak boleh disandingkan atau disejajarkan dengan simbol fiksi, tak peduli seberapa populernya.
Namun, sebagian pengamat hukum menyatakan bahwa selama tidak ada niat merendahkan negara, tindakan ini masih berada dalam ruang ekspresi warga negara yang dijamin konstitusi.
Refleksi Budaya dan Identitas
Fenomena ini menjadi cerminan bahwa masyarakat, khususnya generasi muda, kini mulai mencari cara baru untuk menyampaikan pendapat. Ketika saluran formal dianggap tidak efektif, simbol-simbol dari budaya populer digunakan sebagai alat komunikasi kolektif.
Alih-alih hanya melarang, mungkin sudah saatnya negara dan masyarakat lebih membuka ruang dialog agar setiap ekspresi—selama damai dan tidak merusak—bisa menjadi bagian dari proses demokrasi yang sehat.