
Pemerintah Indonesia mengambil langkah strategis dengan melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam sektor farmasi nasional. Langkah ini diambil guna menekan harga obat-obatan dan memberantas peredaran obat ilegal yang semakin marak, terutama di wilayah pedesaan.
Melalui kerja sama dengan lebih dari 80.000 koperasi desa, TNI diberi mandat untuk memproduksi dan mendistribusikan obat generik berkualitas dengan harga lebih terjangkau. Dalam skema ini, harga obat diperkirakan akan turun hingga 50% dari harga pasar biasa, menjadikannya lebih mudah diakses oleh masyarakat berpenghasilan rendah.
Langkah ini merupakan bagian dari program reformasi kesehatan nasional yang menekankan pada kemandirian farmasi dan keadilan akses. Pemerintah berpendapat bahwa keterlibatan TNI dalam distribusi logistik dan pengawasan dapat menekan praktik mafia obat yang selama ini sulit dikendalikan.
Namun, kebijakan ini juga menuai kritik. Beberapa organisasi sipil menyoroti potensi perluasan peran militer di ranah sipil, yang dianggap bisa membuka celah terhadap pelanggaran HAM atau konflik kepentingan. Meski demikian, pihak Kementerian Pertahanan menegaskan bahwa peran TNI hanya bersifat teknis dan tidak akan mengganggu regulasi sipil.
Di sisi lain, masyarakat di daerah terpencil menyambut baik inisiatif ini. Banyak yang berharap distribusi obat jadi lebih lancar dan tidak lagi bergantung pada pasokan yang mahal dari kota besar.
Dengan peluncuran pilot project di lima provinsi awal, pemerintah berharap model ini bisa diperluas secara nasional pada akhir tahun depan. Jika berhasil, kebijakan ini bisa menjadi contoh integrasi antara lembaga negara dan sistem kesehatan nasional dalam menjawab kebutuhan publik secara langsung.